"PETIKAN GITAR SYAKILLA"


     “Killa bangun, udah pagi nih…” Kata ibu saat Aku masih tertidur pulas di istana kardusku. Setiap pagi Aku dan ibuku mencari rizki dengan memulung di pasar induk yang letaknya tak jauh dari gubukku. Aku dan ibuku lah yang harus banting tulang untuk menyambung hidup, karena ayahku telah lama meninggalkan Aku, ibu, dan adikku Upi. Aku dan ibu ingin sekali adikku Upi dapat mengemban pendidikan di sekolah seperti teman sebayanya. “Ibu, Upi mau sekolah bu...” dengan nada lirih adikku selalu memohon kepada ibukku. Aku tidak tega melihat adikku merengek seperti itu, dan ibupun hanya bisa tersenyum dan berkata , sabar ya Upi….“Ya Tuhan…Kumohon bantulah Aku dan ibuku agar dapat menyekolahkan adikku Upi”, pintaku sambil meneteskan air mata.
    Sekarang waktunya Aku dan ibu kepasar untuk memulung, dan Upi menunggu dirumah. Aku dan ibu khawatir meninggalkan Upi sendiri, tetapi apa boleh buat, Upi tidak mungkin ikut memulung karena fisiknya yang lemah. Sesampainya dipasar, dengan semangat aku memungut barang bekas bersama ibu. “Ya Tuhan, semoga cucuran keringatku dan ibu hari ini tidak sia-sia.
      Satu minggu lagi pendaftaran siswa baru sekolah dasar akan ditutup. Dari brosur sekolah negeri yang Aku baca, biaya masuk sekolah dasar telah dibebaskan. Tetapi Upi butuh seragam sekolah, sepatu, alat tulis, dan perlengkapan sekolah lainnya. Jika hanya mengandalkan hasil dari memulung aku dan ibu, tentunya tidak cukup untuk membeli itu semua. Aku harus mencari tambahan agar dapat membelikan Upi perlengkapan sekolah.
     Hari mulai siang, mataharipun semakin terik. Hasil memulungku dan ibu hari ini lumayan banyak, sekarang saatnya kita bawa ke pengepul barang bekas. “Wah, banyak juga hasil memulung kalian hari ini.” Kata pak Juki, sang pengepul barang bekas. Hasil memulung kita hari ini Rp 20.000, “Terima kasih ya Tuhan.” Ucap ibuku dengan penuh rasa syukur.
     Biasanya setelah pulang memulung, Aku memainkan gitar kesayanganku. Gitar itu satu-satunya harta paling berharga dari ayahku. Meskipun bukan gitar yang mahal, tetapi gitar itu banyak menyimpan kenangan antara Aku dan ayahku. Ayahlah yang mengajariku bermain gitar sejak kecil. Meskipun ayahku telah meninggalkan aku, ibu, dan Upi, tapi tidak pernah sedikitpum Aku benci terhadap ayah. Karena dalam hidup ini tidak pernah ada istilah mantan ayah atau mantan ibu, jadi walau bagaimanapun, ayahku akan tetap menjadi orang tuaku.
     
     Hari telah berganti, tetapi belum ada perubahan dalam hidupku. Aku masih tetap menjadi seorang pemulung. Hingga suatu ketika, Aku membaca pengumuman tentang perlombaan musikalisasi puisi yang tertempel di sudut dinding pasar. Dalam pengumuman itu tertulis bahwa lomba akan berlangsung dua hari lagi, dan hadiah untuk para pemenang yaitu, juara 1 akan mendapatkan uang tunai Rp 1.500.000, juara 2 mendapatkan Rp 1.000.000, dan juara 3 mendapatkan Rp 500.000. Dengan biaya pendaftaran Rp 20.000.
Aku tertarik untuk mengikuti lomba ini, supaya adikku bisa bersekolah. Tapi Aku tidak punya uang untuk membayar biaya pendaftaran. Hasil memulungku hari ini sama seperti kemarin, tapi Aku tidak akan memakai uang ini. Akhirnya Aku meminjam uang kepada pak Juki dan langsung mendaftarkan diri untuk mengikuti lomba tersebut.
     Aku hanya memiliki waktu satu hari untuk mempersiapkan semuanya. Dirumah Aku berlatih dan Aku telah memiliki sebuah puisi yang berjudul “Ayah”. Aku berlatih dan terus berlatih. Berharap yang terbaik yang dapat Aku berikan.
     Keesokkan harinya hujan badai melanda daerah tempat tinggalku, meluluhlantahkan semua rumah kardus yang ada di daerahku. Aku teringat gitar kesayangnku. “Ya Tuhan gitarku patah, bagaimana esok Aku akan mengikuti lomba.” Ucapku seraya menangis. Ibu dan Upi berusaha menghiburku. “Sudahlah kak, yang penting kita semua selamat.” Kata Upi sambil tersenyum sedih. “Tapi dengan gitar ini kakak akan mengikuti lomba besok, dan berusaha menjadi pemenang agar Upi bisa sekolah”. “Upi mengerti kak, kita ini orang yang tidak mampu, jadi tidak perlu dipaksakan.”
Tetapi tekadku sudah bulat, Aku ingin menyekolahkan Upi. Aku akan memperbaiki gitar ini bagaimanapun caranya.
     Keesokkan harinya. “Killa, bangun nak!” Kata ibu. Ternyata aku tertidur dari kemarin sore setelah seharian membereskan rumah akibat hujan badai. “Ibu, dimana gitarku?“ Namun ibu hanya tersenyum. Tiba-tiba Upi datang menghampiri Aku membawa gitar yang penuh tambalan. “Ini kak gitarnya, semoga berhasil ya kak…” “Terima kasih Upi, kakak berjanji, kakak akan menjadi juara, agar dapat menyekolahkanmu.” “Tetapi apakah mungkin suara gitar ini masih bagus?” Rasa pesimispun mulai menghantuiku. Setelah melakukan persiapan, Aku bergegas pergi ke tempat perlombaan. Terkadang rasa pesimis itu muncul, tetapi Aku harus yakin dan percaya bahwa Aku bisa.
     Tibalah waktunya Aku tampil, dengan sedikit gugup Akunpun berjalan menuju panggung dan langsung Aku mainkan gitar kesayanganku sambil membacakan puisi tentang “Ayah”. Ternyata suara gitar ini masih tetap bagus. Terima kasih ya Tuhan. Kupersembahkan petikkan gitar nan merdu ini untuk ibu, Upi, dan pastinya untuk ayahku yang telah mengajariku bermain gitar, walaupun Aku tidak tahu sekarang ayah ada dimana.
      Tibalah saatnya pengumuman pemenang. Sang pembawa acara: “Juara ke-tiga direbut oleh…..Peserta no. 35, Randi….”Selamat kepada pemenang”. Dan diposisi kedua diraih peserta no. 17, Syakilla….(Aku terkejut mendengarnya). Tak apalah, tidak menjadi juara pertama Akupun tetap senang. Ibu, Upi, ayah….Kemenangan ini untuk kalian.
Ibu dan Upi ternyata datang ketempat perlombaan. Upi berlari menghampiriku. “Terima kasih kak, Upi senang sekali”. Katanya sambil menangis gembira. Ibupun menghampiri Aku dan memelukku. “Ibu bangga sama kamu Killa”. Kata ibu sambil mengusap air mata.
     Tak lama kemudian dari kejauhan datang sesosok pria yang mengampiri kami, Aku melihat wajah ibu sangat terkejut melihat pria itu. Tak lama baru ku sadari, bahwa pria tersebut adalah ayahku, ayah yang telah mengajariku bermain gitar dan yang telah meninggalkan Aku, ibu, dan Upi selama 5 tahun. Ternyata selama ini ayahku mendekam didalam penjara, akibat di fitnah oleh teman kerjanya. Karena ayah takut kita kecewa bila mengetahui ayah masuk penjara, maka ayahpun memutuskan untuk tidak memberitahu kita selama ayah dipenjara.
      Ayahpun langsung bersujud dan meminta maaf kepada kita sambil meneteskan air mata dan menyesali perbuatannya. Ibupun merangkul ayah, dan memintanya untuk berdiri. Kita sama-sama saling meminta maaf. Akhirnya keluargaku kembali utuh seperti dahulu. Terima kasih Tuhan, Kau telah menyatukan kami kembali.